Kerajaan Eropa Abad Pertengahan Disebut

Kerajaan Eropa Abad Pertengahan Disebut

Semangat (spirit) Abad Pertengahan

Masyarakat agraris bergantung dari faktor alam (hujan, cuaca dan lain-lain) yang mereka percaya berasal dari Tuhan. Penghasilan para petani tidak ditentukan oleh manusia tetapi ditentukan oleh alam. Masyarakat Agraris pada Abad Pertengahan juga mempunyai ciri semangat yang berbeda dengan masa sebelumnya. Semangat masyarakat Abad Pertengahan diantaranya adalah semangat teosentris, semangat komunal, semangat jenseits (harapan akan hidup di dunia kekal).

Oleh karena itu, motto atau semboyan hidup masyarakat Abad Pertengahan adalah Memento Mori (Ingatlah akan kehidupan di alam baka). Sumber-sumber jiwa Abad Pertengahan menuju kembali pada kitab suci, segala perwujudan kebudayaan dalam bentuk kata ataupun tulisan, dalam seni patung dan musik, dalam ibadat dan kebiasaan sehari-hari semuanya berpedoman kepada kitab suci. Hidup seseorang dan masyarakat senantiasa diarahkan kepada alam baka.

Awal Abad Pertengahan

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.

Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.

Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.

Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.

Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.

Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.

Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.

Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.

Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.

Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.

Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.

Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.

Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.

Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.

Arsitektur, seni rupa, dan seni musik

Pada abad ke-10, pembangunan gedung-gedung gereja dan biara mendorong munculnya arsitektur bangunan batu yang merupakan hasil pengembangan lebih lanjut terhadap bentuk-bentuk bangunan batu ala Romawi, sehingga dinamakan langgam arsitektur "Romanik". Jika kebetulan ada, gedung-gedung bata dan batu peninggalan Romawi dibongkar agar material bangunannya dapat digunakan kembali dalam pembangunan gedung-gedung baru. Bermula dari tahap coba-coba permulaan yang dikenal dengan sebutan Romanik Perdana, langgam arsitektur berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa dalam bentuk yang seragam. Tepat sebelum tahun 1000, terjadi gelombang besar pembangunan gedung-gedung gereja batu di seluruh Eropa.[239] Gedung-gedung berlanggam Romanik memiliki dinding yang tersusun dari batu-batu berukuran raksasa, lubang-lubang pintu dan jendela dengan ambang yang melengkung membentuk setengah lingkaran, tingkap-tingkap berukuran kecil, dan (khususnya di Prancis) lengkungan langit-langit dari susunan batu.[240] Pintu-pintu masuk berukuran besar berbingkai pahatan relief tinggi yang diwarnai menjadi salah satu tampilan utama pada muka bangunan (façade), teristimewa di Prancis. Ganja-ganja tiangnya sering kali dihiasi ukiran monster-monster dan satwa-satwa khayali.[241] Menurut sejarawan seni rupa, C. R. Dodwell, "nyaris semua gedung gereja di Dunia Barat dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding", hanya sedikit di antaranya yang masih ada sampai sekarang.[242] Bersamaan dengan perkembangan di bidang arsitektur gedung gereja, bentuk bangunan puri yang khas Eropa juga dikembangkan, dan menjadi sangat penting artinya bagi percaturan politik dan peperangan.[243]

Seni rupa langgam Romanik, khususnya di bidang kriya logam, mencapai tahap kecanggihan tertingginya dalam seni rupa langgam Maas, yang memunculkan seniman-seniman dengan ciri khas tersendiri, antara lain Nikolaus dari Verdun (wafat 1205), dan menghasilkan karya-karya seni yang nyaris tampak berlanggam klasik seperti bejana baptis di Liège,[244] jauh berbeda dari sosok-sosok hewan menggeliat pada Kandil Gloucester yang juga dibuat pada kurun waktu yang sama. Alkitab dan buku Mazmur beriluminasi berukuran besar adalah naskah-naskah mewah yang lazim dibuat kala itu, dan lukisan dinding menyemarakkan gedung-gedung gereja, sering kali mengikuti kaidah yang menempatkan lukisan bertema Penghakiman Akhir pada dinding barat, Maiestas Domini pada dinding timur, dan penggambaran kisah-kisah Alkitab di sepanjang dinding pada kedua sisi panti umat, atau pada lengkungan langit-langit memanjang seperti di Saint-Savin-sur-Gartempe, yang merupakan contoh terindah dari lukisan pada lengkungan langit-langit bangunan yang masih lestari hingga sekarang.[245]

Semenjak permulaan abad ke-12, tukang-tukang bangunan Prancis mengembangkan langgam Gothik, yang bercirikan pemakaian lengkungan langit-langit berusuk, pelengkung yang mengerucut, penopang-penopang layang, dan jendela-jendela kaca patri berukuran besar. Langgam ini lebih banyak digunakan dalam pembangunan gedung-gedung gereja dan gereja katedral, serta terus-menerus digunakan sampai dengan abad ke-16 di banyak tempat di Eropa. Contoh-contoh klasik dari arsitektur berlanggam Gothik antara lain adalah gedung gereja katedral Chartres dan gedung gereja katedral Reims di Prancis, serta gedung gereja katedral Salisbury di Inggris.[246] Kaca patri menjadi unsur penting dalam rancang bangun gedung gereja, yang masih terus menggunakan lukisan-lukisan dinding, tetapi dewasa ini hampir semuanya sudah musnah.[247]

Pada kurun waktu ini, kegiatan pembuatan naskah beriluminasi beralih dari biara-biara ke sanggar-sanggar milik umat awam, sampai-sampai menurut Janetta Benton "pada tahun 1300, kebanyakan rahib membeli buku di toko-toko".[248] Pada kurun waktu ini pula buku ibadat harian dikembangkan menjadi buku panduan beribadat bagi umat awam. Kriya logam masih tetap menjadi wujud karya seni yang paling bergengsi, dan email Limoges menjadi bahan dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak sekali dipakai dalam pembuatan benda-benda seperti relikuarium dan salib..[249] Di Italia, inovasi-inovasi Cimabue dan Duccio di Buoninsegna, dan kemudian hari juga inovasi-inovasi dari maestro era Trecento, Giotto di Bondone (wafat 1337), kian mempercanggih dan mengentaskan lukisan panel dan fresko.[250] Meningkatnya kemakmuran pada abad ke-12 mendorong peningkatan produksi karya-karya seni rupa sekuler; banyak barang ukiran gading seperti peranti permainan (buah catur, dadu, dan sebagainya), sisir-sisir, dan patung-patung keagamaan berukuran kecil masih terlestarikan sampai sekarang.[251]

Reformasi biara menjadi isu penting pada abad ke-11, manakala para penguasa mulai khawatir kalau-kalau para rahib tidak mengamalkan aturan-aturan yang mewajibkan mereka untuk semata-mata menekuni kehidupan zuhud. Biara Cluny yang dibangun di daerah Mâcon, Prancis, pada tahun 909, adalah pelopor gerakan Reformasi Cluny, yakni gerakan reformasi biara berskala besar yang muncul sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran kalangan penguasa.[253] Biara Cluny dengan segera tersohor sebagai biara yang sangat bersahaja dan sangat ketat dalam menjalankan tata tertib. Biara ini berusaha menjaga mutu kehidupan rohani yang tinggi dengan berlindung kepada lembaga kepausan, dan dengan memilih sendiri kepala biaranya tanpa campur tangan umat awam, sehingga dapat terus mandiri secara ekonomi maupun politik, terhindar dari campur tangan tuan-tuan besar setempat.[254]

Reformasi biara mengilhami usaha-usaha pembaharuan Gereja di luar lingkungan biara. Cita-cita luhur yang melandasi gerakan reformasi biara dibawa ke tataran lembaga kepausan oleh Paus Leo IX (menjabat 1049–1054), dan menjadi sumber ideologi kemandirian kaum rohaniwan yang berujung pada Kontroversi Investitur pada akhir abad ke-11. Kontroversi ini melibatkan Paus Gregorius VII (menjabat 1073–1085) dan Kaisar Heinrich IV, yang mula-mula mempersengketakan kewenangan mengangkat uskup. Sengketa ini berubah menjadi pertarungan gagasan terkait investitur (pengangkatan), pernikahan kaum rohaniwan, dan simoni. Kaisar menganggap urusan melindungi Gereja sudah menjadi tanggung jawabnya, dan hendak mempertahankan haknya untuk memilih sendiri uskup-uskup yang menjabat di dalam wilayah kedaulatannya, sementara lembaga kepausan dengan gigih memperjuangkan kebebasan Gereja dari campur tangan penguasa sekuler. Isu-isu ini tidak kunjung tuntas meskipun telah dicapai kompromi pada tahun 1122 yang dikenal dengan sebutan Konkordat Worms. Sengketa ini merupakan salah satu tahap penting dalam pembentukan monarki kepausan yang terpisah sekaligus setara dengan pemerintahan-pemerintahan awam. Sengketa ini juga meninggalkan dampak permanen, yakni kian kukuhnya kekuasaan para kepala swapraja Jerman sehingga merugikan kaisar-kaisar Jerman.[253]

Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya gerakan-gerakan agamawi berskala besar. Selain ikut serta dalam Perang Salib dan gerakan reformasi biara, orang juga berusaha mencari bentuk-bentuk amalan zuhud yang baru. Tarekat-tarekat baru didirikan, antara lain tarekat Sistersien dan tarekat Kartusian. Tarekat Sistersien menyebar dengan pesat pada tahun-tahun permulaan keberadaannya di bawah bimbingan Bernardus dari Clairvaux (wafat 1153). Tarekat-tarekat baru ini didirikan untuk menanggapi pandangan umat awam yang merasa cara hidup zuhud ala Benediktin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan umat awam. Sebagaimana orang-orang yang hendak menjalani hidup zuhud, umat awam juga ingin kembali pada cara hidup zuhud eremitis (cara hidup pertapa) yang diamalkan dalam Gereja Perdana, atau mengamalkan cara hidup para rasul.[211] Kegiatan ziarah juga digairahkan. Tempat-tempat ziarah lama seperti Roma, Yerusalem, dan Compostela mengalami lonjakan peziarah, dan tempat-tempat ziarah baru seperti Monte Gargano dan Bari kian dikenal orang.[255]

Pada abad ke-13, tarekat-tarekat fakir—Fransiskan dan Dominikan—yang mengikrarkan kaul kemiskinan dan menafkahi diri mereka dengan cara mengemis, mendapatkan persetujuan dari lembaga kepausan.[256] Kelompok-kelompok keagamaan seperti kaum Waldenses dan kaum Humiliati juga berusaha mengamalkan kembali cara hidup umat Kristen perdana pada pertengahan abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, tetapi dikecam sebagai gerakan bidat oleh lembaga kepausan. Kelompok-kelompok keagamaan lainnya bergabung dengan kaum Katari, gerakan bidah lain yang juga dikecam oleh lembaga kepausan. Pada 1209, sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum Katari, yakni Perang Salib Albigensian. Perang Salib ini digabungkan dengan inkuisisi Abad Pertengahan, dan berhasil memberantas kaum Katari.[257]

Puncak Abad Pertengahan

Puncak Abad Pertengahan bermula sesudah tahun 1000 Masehi, yaitu ditandai dengan populasi Eropa yang meningkat pesat berkat munculnya inovasi-inovasi di bidang teknologi dan pertanian, yang memungkinkan berkembangnya perniagaan. Lonjakan populasi Eropa juga disebabkan oleh perubahan iklim selama periode Suhu Hangat Abad Pertengahan yang memungkinkan peningkatan hasil panen.

Ilustrasi naskah Prancis dari Abad Pertengahan yang menampilkan ketiga golongan masyarakat Abad Pertengahan: golongan yang berdoa (rohaniwan), golongan yang bertarung (kesatria), dan golongan yang bekerja (petani). Hubungan di antara ketiga golongan ini diatur menurut tatanan feodalisme dan manorialisme (Li Livres dou Sante, abad ke-13).

Ada dua tatanan kemasyarakatan yang diterapkan pada Puncak Abad Pertengahan, yakni manorialisme dan feodalisme. Manorialisme adalah penertiban rakyat jelata menjadi pemukim di desa-desa, dengan kewajiban membayar sewa lahan dan bekerja bakti bagi kaum ningrat; sementara feodalisme adalah struktur politik yang mewajibkan para kesatria dan kaum ningrat kelas bawah untuk maju berperang membela junjungan mereka sebagai ganti anugerah hak sewa atas lahan dan tanah perdikan (bahasa Inggris: manor).

Perang Salib yang mula-mula diserukan pada 1095 adalah upaya militer umat Kristen Eropa Barat untuk merebut kembali kekuasaan atas Tanah Suci dari umat Islam. Raja-raja menjadi kepala dari negara-negara bangsa yang tersentralisasi. Sistem kepemimpinan semacam ini mengurangi angka kejahatan dan kekerasan, tetapi membuat cita-cita untuk menciptakan suatu Dunia Kristen yang bersatu semakin sukar diwujudkan.

Kehidupan intelektual ditandai oleh skolastisisme, filsafat yang mengutamakan keselarasan antara iman dan akal budi, dan ditandai pula oleh pendirian universitas-universitas. Teologi Thomas Aquinas, lukisan-lukisan Giotto, puisi-puisi Dante dan Chaucer, perjalanan-perjalanan Marco Polo, dan katedral-katedral berlanggam Gothik semisal Katedral Chartres, adalah segelintir dari capaian-capaian menakjubkan pada penghujung kurun waktu Puncak Abad Pertengahan dan permulaan kurun waktu Akhir Abad Pertengahan.

Akhir Abad Pertengahan

Akhir Abad Pertengahan ditandai oleh berbagai musibah dan malapetaka yang meliputi bencana kelaparan, wabah penyakit, dan perang, yang secara signifikan menyusutkan jumlah penduduk Eropa; antara 1347 sampai 1350, wabah Maut Hitam menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk Eropa.

Kontroversi, bidah, dan Skisma Barat yang menimpa Gereja Katolik, terjadi bersamaan dengan konflik antarnegara, pertikaian dalam masyarakat, dan pemberontakan-pemberontakan rakyat jelata yang melanda kerajaan-kerajaan di Eropa. Perkembangan budaya dan teknologi mentransformasi masyarakat Eropa, mengakhiri kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, dan mengawali kurun waktu Awal Zaman Modern.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai sejarah singkat Abad Pertengahan di Eropa. Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang bagian dari sejarah Eropa tersebut. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Abad Pertengahan agar dapat mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Viking merupakan bangsa India-Eropa dari Skandinavia (Denmark, Norwegia, dan Swedia modern) yang sekitar 400-an M mulai melakukan penyerbuan rutin melalui laut ke berbagai wilayah di Eropa, bahkan hingga ke Laut Tengah dengan menyerbu Sisilia dan Italia selatan. Viking mulai menyerang pesisir Atlantik Prancis selatan sekitar 400 M, dan juga pesisir timur Inggris.

Pada 861 M, cabang Viking lainnya bermigrasi ke Rusia untuk berdagang dengan Konstantinopel. Di Rusia, Viking secara berangsur-angsur bercampur dengan bangsa Slav yang tinggal di sana, dan mendirikan negara Rusia. Bersama-sama, bangsa Slav dan Viking melayari Laut Hitam, di mana mereka berdagang dengan berbagai orang dari timur di sepanjang Jalur Sutra seperti orang Samaniyah. Viking menjual bulu dan wol kepada orang Samaniyah, dan orang Samaniyah menjual sutra dari Tiongkok kepada Viking.

Bangsa Viking dan Slav juga menyerbu wilayah Romawi Timur di sekitar Konstantinopel, meskipun mereka tidak mampu merebut kota tersebut. Dengan cepat Kekaisaran Bizantium menyewa orang Viking sebagai tentara. Banyak Viking yang bertempur untuk Bizantium pada Pertempuran Manzikert melawan Seljuk pada 1071 M. Sekitar 1100 M, sebagian besar Viking telah memeluk Kristen.

Pada 1000 M, beberapa Viking bermukim di Prancis utara, dan mereka kemudian disebut orang Norman, atau Northman, sedangkan wilayahnya disebut Normandia hingga masa kini. Mereka juga memeluk Kristen. Pada masa tersebut, beberapa Viking berlayar ke barat ke wilayah seperti Islandia dan Greenland, bahkan hingga sejauh Nova Scotia, di Kanada modern. Beberapa pria Viking menikahi perempuan lokal di sana. Orang Viking juga bermukim di Islandia dan Greenland, tapi hanya tinggal sebentar di Kanada, karena orang-orang Inuit di sana terlalu kuat bagi mereka, serta karena periode pendinginan global yang dimulai sekitar 1300 M menjadikan lautan terlalu beku untuk kapal-kapal mereka.

PERPUSTAKAAN SMA ISLAM AL AZHAR 8 KOTA BEKASI

Perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 Kota Bekasi merupakan salah satu perpustakaan tingkat SMA yang ada di Kota Bekasi. Perpustakaan ini berdiri sejak tahun 2013 yang dikelola oleh Yayasan Syiar Bangsa. Pada awal mula berdirinya, Perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 bergabung ruangan dengan Perpustakaan SMP Islam Al Azhar 31 Kota Bekasi. Kemudian pada bulan April Tahun 2016 hingga kini perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 Kota Bekasi sudah memiliki ruang sendiri yaitu di lantai 3 gedung SMA Islam Al Azhar 8. Tujuan dari perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 Kota Bekasi adalah sebagai wadah bagi para guru dan murid dalam membantu proses belajar. Satu unit layanan jasa penyedia informasi, pembelajaran, dan pengembangan diri bagi civitas akademik.

© 2024 — Senayan Developer Community

Masyarakat-masyarakat baru

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][F]

Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]

Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][G] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]

Sengketa dalam Gereja

Pada abad ke-14 yang penuh pergolakan, sengketa kepemimpinan Gereja mengakibatkan lembaga kepausan berpindah ke Avignon sejak 1309 sampai 1376.[295] Kurun waktu keberadaan lembaga kepausan di Avignon ini disebut pula masa "pembuangan Babel lembaga kepausan" (mengacu pada masa pembuangan Babel yang dialami umat Yahudi).[296] Sengketa ini juga menyebabkan terjadinya Skisma Akbar Gereja Barat, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, manakala muncul dua dan kemudian tiga orang paus yang menjabat pada waktu yang bersamaan, masing-masing didukung oleh sejumlah negara.[297] Para wali gereja bersidang dalam Konsili Konstanz pada 1414, dan pada tahun berikutnya memutuskan untuk memakzulkan salah seorang dari ketiga paus. Pemakzulan terus berlanjut dan pada bulan November 1417, para peserta konsili akhirnya memilih Kardinal Oddone Colonna menjadi Paus Martinus V (menjabat 1417–1431).[298]

Selain skisma, Gereja Barat juga mengalami perpecahan akibat kontroversi teologi, beberapa di antaranya berubah menjadi gerakan bidah. Yohanes Wycliffe (wafat 1384), seorang teolog Inggris, dikutuk sebagai ahli bidah pada 1415 karena mengajarkan bahwa umat awam harus diberi keleluasaan untuk membaca sendiri nas-nas Kitab Suci, juga karena pandangannya mengenai Ekaristi bertentangan dengan doktrin Gereja.[299] Ajaran-ajaran Yohanes Wycliffe mempengaruhi dua gerakan bidah besar pada Akhir Abad Pertengahan, yakni bidah Lolardi di Inggris dan bidah Husité di Bohemia.[300] Gerakan bidah di Bohemia dipicu oleh ajaran Yohanes Hus, yang dibakar hidup-hidup pada 1415 setelah dipidana mati sebagai ahli bidah oleh Konsili Konstanz. Meskipun sempat menjadi sasaran penyerbuan dalam Perang Salib, jemaat Husite sanggup bertahan melewati Abad Pertengahan.[301] Bidah-bidah lain hanyalah hasil rekayasa, misalnya dakwaan sebagai ahli bidah terhadap para Kesatria Haikal yang mengakibatkan tarekat mereka dibubarkan pada 1312, dan harta kekayaan mereka yang besar dibagi-bagi di antara Raja Prancis, Philippe IV (memerintah 1285–1314), dan para Kesatria Pramuhusada.[302]

Lembaga kepausan terus memoles dan memperhalus tata cara perayaan Misa pada Akhir Abad Pertengahan, dengan menetapkan bahwa hanya rohaniwan yang boleh meminum anggur Ekaristi. Ketentuan ini semakin memperlebar jarak antara umat awam sekuler dan kaum rohaniwan. Umat awam masih terus mengamalkan kebiasaan berziarah, penghormatan relikui, dan keyakinan akan adanya kekuatan Iblis. Tokoh-tokoh kebatinan seperti Meister Eckhart (wafat 1327) dan Tomas a Kempis (wafat 1471) menghasilkan karya-karya tulis yang berisi taklimat bagi umat awam untuk memusatkan perhatian pada kehidupan rohaninya masing-masing. Karya-karya tulis ini menjadi landasan bagi gerakan Reformasi Protestan. Selain ajaran-ajaran kebatinan, keyakinan akan tukang sihir dan ilmu sihir juga kian meluas. Pada penghujung abad ke-15, Gereja malah turut memperbesar ketakutan masyarakat akan ilmu sihir dengan mengeluarkan pernyataan mengutuk tukang sihir pada 1484, dan pada 1486, menerbitkan Malleus Maleficarum (Penggodam Tukang Sihir), buku panduan populer bagi para pemburu tukang sihir.[303]

Terminologi dan Periodisasi

Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.

Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).

Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.

Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.

Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.

Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).

Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.

Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.

Awal Abad Pertengahan

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.

Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.

Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.

Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.

Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.

Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.

Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.

Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.

Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.

Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.

Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.

Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.

Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.

Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.

Keadaan Eropa Pada Abad Pertengahan

Runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 menyebabkan perdagangan di sekitar Laut Tengah setelah hilangnya pasar di Roma menjadi sangat berkurang atau mengalami penurunan aktivitas. Penurunan aktivitas ini membuat kota-kota di Eropa Barat menjadi mati. Hubungan dagang yang tersisa adalah hubungan antara kota-kota pantai di cekungan sebelah timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya. Sisa-sisa perdagangan dan pelayaran di Laut Tengah bagi bangsa Eropa berakhir setelah Konstantinopel dikuasai oleh Kekaisaran Turki Utsmani pada tahun 1453.

Hilang dan runtuhnya kota-kota pelabuhan di Eropa mengubah daerah Eropa menjadi semakin agraris dengan rumah tangga desa tertutup. Hasil tanah yang dahulu dijual di kota-kota kini menjadi konsumsi desa. Di Eropa kemudian pun tidak adanya lalu lintas uang antara desa yang satu dengan desa yang lain. Hubungan perdagangan dengan daerah Asia yang telah terjadi selama berabad-abad hampir putus dan hilang sama sekali. Hal ini pun kemudian mengakibatkan kemunduran di bidang perekonomian.

Berubahnya Eropa menjadi masyarakat yang agraris menyebabkan timbulnya susunan sosial-politik baru di Eropa yang disebut dengan sistem feudal. Sistem feudal (feodalisme) adalah suatu sistem yang didasarkan pada penguasaan atas tanah (feodum) atau yang memiliki pengertian tanah yang dimiliki oleh para vassal. Sistem ini di Eropa ditandai dengan kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Sistem feudal juga diartikan sebagai sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat seseorang dan menyingkirkan prestasi kerja.

Sistem politik yang dibangun pada masa ini adalah perpaduan antara militer dan bangsawan dengan menganut sistem yang sangat hierarki. Kekuasaan politik bersifat lokal dan personal. Hal ini mengakibatkan dunia kekuasaan menjadi tumpah tindih sehingga seringkali dipenuhi dengan ketegangan dan peperangan antar vassal.

Para raja yang dianggap menjadi pemilik tunggal tanah secara keseluruhan, meminjamkan bidang-bidang tanah yang luas kepada mereka yang dianggap berjasa terhadap raja. Pinjaman yang diberikan oleh raja ini bersifat turun-temurun dan peminjam pertama ini disebut sebagai raja daerah atau vassal, yang tergolong sebagai bangsawan kelas tinggi.

Para raja daerah (vassal) atau tuan-tuan tanah ini bertempat tinggal di sebuah bangunan yang disebut dengan kastil. Vassal atas namanya sendiri menguasai dan mengatur pemakaian tanah di wilayah kekuasaannya. Mereka meminjamkan bagian-bagian tanahnya kepada bawahannya langsung dan seterusnya.

Dengan demikian, terbentuklah golongan bangsawan atau kaum feudal yang dibagi atas tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini peminjam yang tingkatannya paling bawah adalah para petani yang mengerjakan tanah. Dalam kehidupan yang feudal ini, seorang vassal mempunyai hak untuk memerintah daerah kekuasaannya menurut kehendak dan caranya sendiri. Seorang vassal memiliki kewajiban untuk memberi pajak dan upeti kepada raja.

Demikian juga, bawahan-bawahan langsung dari para vassal inilah yang lalu menjadikan petani-petani sebagai objek untuk mendukung kewajibannya, sehingga para petani terpaksa menanggung pajak yang sangat berat dalam susunan pemerintahan yang feudal. Sebagian besar pendapatan petani dipakai untuk membayar pajak.

Feodalisme telah menempatkan kaum feudal (raja, vassal, bangsawan, dan golongan ksatria dari kaum bangsawan (ridder-knight) sebagai penguasa, sedangkan rakyat lebih banyak kewajibannya dibandingkan dengan haknya. Keadaan-keadaan lain yang menjadi ciri-ciri lain dari kehidupan masyarakat feudal di Eropa adalah:

Di tengah-tengah situasi politik yang kacau-balau selama Abad Pertengahan, ketika semua organisasi kenegaraan lumpuh, suku bar-bar mulai menguasai daerah-daerah dan mulai mendominasi di dataran Eropa. Sedangkan di sisi lain orang-orang masih menggunakan tradisi Romawi dan diatur menurut model Romawi Kuno: Kota berada di bawah uskup, provinsi di bawah provicaris gereja dan juga sebagai pusat agama Kristen di Eropa.

Kedudukan Paus sebagai “pembuat raja” menempatkan pula kedudukan dan pengaruh kaum gereja ke dalam kehidupan secara menyeluruh. Biara-biara saat itu menjadi pusat pembinaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Uskup-uskup di samping memangku jabatan gereja juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Banyak diantara mereka yang menjadi penasihat raja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa ini seluruh sendi-sendi kehidupan mengandung unsur kegerejaan yang sangat kuat.